Sabtu, 31 Maret 2012

karya Ilmiah

OPTIMALISASI PENGGUNAAN SUMBER ENERGI NON-KONVENSIONAL SEBAGAI UPAYA MENGURANGI TINGKAT PENGGUNAAN BAHAN BAKAR MINYAK UNTUK PEMBANGKIT LISTRIK DI INDONESIA”


A.    LATAR BELAKANG
      Indonesia adalah negara yang memiliki sumber daya energi yang berlimpah dan beragam baik yang bersumber dari fosil seperti minyak bumi, batubara dan gas bumi. Ataupun sumber energi alternatif dan terbarukan lainnya seperti tenaga surya, tenaga angin, tenaga air, geothermal, biomasa dan lain-lain. Meskipun potensi sumber energi yang dimiliki berlimpah, Indonesia sampai saat ini tetap belum bisa memenuhi kebutuhan energi dalam negerinya sendiri.  Hal ini dikarenakan kondisi geografis negara Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau dan kepulauan, sehingga distribusi energi listrik tidak merata, selain itu disebabkan pula oleh tidak meratanya pusat-pusat beban listrik, rendahnya tingkat permintaan listrik di beberapa wilayah, tingginya biaya marginal pembangunan sistem suplai energi listrik (Ramani, K.V,1992), serta terbatasnya kemampuan finansial, hal tersebut merupakan faktor-faktor penghambat penyediaan energi listrik dalam skala nasional.
Energi merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, khususnya kebutuhan akan energi listrik. Semakin pesatnya perkembangan dibidang ilmu pengetahuan, teknologi, industri dan informasi maka semakin besar pula energi listrik yang dibutuhkan, sebagai contoh adalah suatu industri yang awalnya melakukan kegiatan produksi secara manual dengan tenaga manusia setelah ditemukannya mesin bertenaga listrik maka kegiatan produksinya semakin meningkat. Bahkan yang terjadi saat ini peralatan rumah tanggapun hampir semuanya menggunakan alat yang membutuhkan energi listrik, sehingga pada saat terjadi pemadaman listrik atau pada saat terjadi gangguan, seakan-akan kegiatan manusia lumpuh  karena sudah sangat tergantung pada energi listrik.


Didalam KOMPAS.com menyebutkan bahwa Masyarakat Kelistrikan Indonesia (MKI) memperkirakan, kebutuhan tenaga listrik di Indonesia akan meningkat pesat dalam beberapa tahun ke depan. Untuk itu partisipasi swasta dan daerah dalam penyediaan listrik perlu ditingkatkan. Hal ini disampaikan Ketua Bidang Penunjang Ketenagalistrikan, Djuniarman Djulkifli, dalam jumpa pers, Senin (19/9/2011), di Kemayoran, Jakarta. Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) tahun 2010-2019 menyebutkan, kebutuhan tenaga listrik diperkirakan mencapai 55.000 Mega Watt (MW). Jadi rata-rata peningkatan kebutuhan listrik per tahun 5.500 MW.
Pada tahun 2005, sumber utama pasokan energi Indonesia adalah minyak bumi ( 54.78 % ), disusul gas bumi ( 22,24 % ), batubara ( 16.77 % ), Air ( 3.72 %) dan geothermal ( 2.46 % ). Sasaran pemerintah pada tahun 2025, diharapkan terwujudnya bauran energi yang lebih optimal, yaitu : minyak bumi ( < 20 % ), gas bumi ( > 30 %),batubara ( > 33 % ), biofuel ( > 5 % ), panas bumi ( > 5 % ), Energi terbarukan lainnya ( > 5 % ) dan batubara yang dicairkan ( > 2 % ). Berdasar data diatas menunjukan bahwa saat ini sumber daya energi fosil lah yang masih menjadi tumpuan atau komponen utama penghasil energi listrik di Indonesia, terutama pada jenis minyak bumi, yang merupakan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui sehingga lama-kelamaan akan habis. Untuk minyak bumi jumlahnya di Indonesia semakin menipis. Menipisnya jumlah energi fosil tersebut menyebabkan harga per satuannya meningkat sehingga memperngaruhi pula biaya untuk energi listrik yang pada akhirnya masyarakatlah yang harus membayar lebih untuk menikmati energi listrik ditengah-tengah kehidupan yang semua aspeknya membutuhkan energi listrik. Semakin meningkatnya kesadaran akan usaha untuk melestarikan lingkungan, menyebabkan kita harus berpikir untuk mencari altematif penyediaan energi listrik yang memiliki karakter :
  1. Dapat mengurangi ketergantungan terhadap pemakaian energi fosil, khususnya minyak bumi
  2. Dapat menyediakan energi listrik dalam skala lokal regional maupun nasional
  3. Mampu memanfaatkan potensi sumber daya energi setempat yang ada
  4. Ramah lingkungan, dalam artian proses produksi dan pembuangan hasil produksinya tidak merusak lingkungan hidup disekitarnya.

Sistem penyediaan energi listrik yang dapat memenuhi kriteria di atas adalah sistem konversi energi yang memanfaatkan sumber daya energi terbarukan, seperti: matahari, angin, air, biomasa dan lain sebagainya (Djojonegoro,1992). Indonesia memiliki banyak potensi energi terbarukan, tersebut tetapi pemanfaatannya belum optimal. Belum optimalnya pemanfaatan energi terbarukan ini disebabkan biaya pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan, seperti tenaga surya, relatif mahal dan tidak dapat bersaing dengan biaya pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar energi fosil (bahan bakar minyak, gas bumi, dan batubara).
Dari latar belakang diatas maka penulis ingin menyumbangkan buah pikirnya dengan judul Optimalisasi Penggunaan Sumber Energi Non-Konvensional Sebagai Upaya Mengurangi Tingkat Penggunaan Bahan Bakar Minyak Untuk Pembangkit Listrik di Indonesia. Untuk itu perlu mengadakan adanya pengkajian mengenai peluang dan kendala pemanfaatan sumber-sumber daya energi alternatif di Indonesia. Agar kedepannya energi listrik yang selama ini didominasi oleh minyak Bumi dapat dikurangi dengan beberapa energi non konvensional yang lebih murah dan tersedia melimpah  dialam.


B.     Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, masalah yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut :
1.      Pembangkit listrik di Indonesia saat ini di dominasi oleh energi fosil yang kedepannya jumlahnya dialam semakin habis, padahal kebutuhan akan energi listrik terus bertambah.
2.      Belum optimalnya pemanfaatan sumber energi Non-Konvensional di Indonesia.

C.  Batasan Masalah
Berdasarkan dari identifikasi masalah tersebut, maka karya tulis ini membatasi masalah pada Optimalisasi Penggunaan Sumber Energi Non-Konvensional Sebagai Upaya Mengurangi Tingkat Penggunaan Bahan Bakar Minyak Untuk Pembangkit Listrik di Indonesia.

D.  Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah diatas maka terdapat rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimanakah potensi sumber energi Non-Konvensional di Indonesia ?
2.      Bagaimanakah penerapan sumber energi non-konvensional di Indonesia ?

E.  Tujuan
Tujuan dari karya tulis ini adalah:
1.      Mengetahui potensi sumber energi non-Konvensional di Indonesia
2.      Mengetahui sejauh mana penerapan sumber energi Non-Konvensional di Indonesia

F.   Manfaat
1.      Manfaat teoritis
a.       Menambah pengetahuan mengenai sumber energi non-konvensional
b.      Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan mengenai geografi Sumber daya dan Energi
c.       Dapat dijadikan referensi bagi penulisan karya ilmiah yang sejenis dimasa yang akan datang.
2.      Manfaat praktis
a.       Membantu mahasiswa melaksanakan salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu pengabdian kepada masyarakat melalui pendidikan.
b.      Bagi pemerintah; program ini dapat dijadikan sebagai solusi alternatif penghematan biaya pembangkit listrik dengan menerapkan energi non-konvensional.
c.       Bagi masyarakat; dengan diketahuinya potensi-potensi alam yang mengandung energi non-konvensional maka masyarakat bisa merekayasa potensi tersebut sebagai alternatif pembangkit listrik.





















BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A.    Kebutuhan Listrik Indonesia
Kebutuhan energi listrik di Indonesia dibedakan atas beberapa sektor pengguna energi seperti industri, rumah tangga, transportasi, pemerintahan, dan komersial. Kemampuan pasokan energi listrik nasional terkait erat dengan ketersediaan sumber daya energi dan kemampuan ekonomi nasional. Berdasarkan proyeksi kebutuhan energi listrik di Indonesia menunjukan bahwa Pulau Jawa merupkan pulau yang kebutuhan energinya paling besar, hal tersebut disebabkan semua kegiatan yang mendorong peningkatan ekonomi berpusat dipulau Jawa, walaupun di Pulau Sumatera dan Kalimantan kaya akan sumber energi namun industry yang ada tidak mengalami perkembangan yang pesat, selain karena penduduknya yang tidak sepadat penduduk di pulau Jawa. (Joko Santoso dan Rudiartono : 2005).

B.  Kriteria Pemilihan Pembangkit
Meskipun Indonesia memiliki banyak potensi energi yang dapat dikembangkan menjadi pembangkit listrik, namun kenyataannya proses realisasinya tidak semudah membalik telapak tangan. Pemilihan pembangkit listrik bukanlah hal yang mudah. Banyak hal yang harus dipertimbangkan secara matang, seperti: prediksi pertumbuhan beban per tahun, karakteristik kurva beban, keandalan sistem pembangkit, ketersediaan dan harga sumber energi primer yang akan digunakan, juga isu lingkungan, sosial dan politik.
1.   Karakteristik Beban
Hingga saat ini tidak ada satu alat pun yang dapat menyimpan energi listrik dalam kapasitas yang sangat besar. Untuk itu besarnya listrik yang dibangkitkan harus disesuaikan dengan kebutuhan beban pada saat yang sama. Secara garis besar ada 3 tipe pembangkit listrik berdasarkan waktu beroperasinya. Tipebase untuk menyangga beban-beban dasar yang konstan, dioperasikan sepanjang waktu dan memiliki waktu mula yang lama. Tipe intermediate biasanya digunakan sewaktu-waktu untuk menutupi lubang-lubang beban dasar pada kurva beban, memiliki waktu mula yang cepat dan lebih reaktif. Tipe peak/puncak, hanya dioperasikan saat PLN menghadapi beban puncak, umumnya pembangkit tipe ini memiliki keandalan yang tinggi, namun tidak terlalu ekonomis untuk digunakan terus-menerus.
2.   Keandalan Pembangkit
Salah satu hal penting dari penyediaan pasokan energi listrik adalah isu keandalan. Keandalan kapasitas pembangkit didefenisikan sebagai persesuaian antara kapasitas pembangkit yang terpasang terhadap kebutuhan beban. Artinya pasokan energi diharuskan selalu tersedia untuk melayani beban secara kontinyu. Banyak faktor yang menjadi parameter keandalan dan kualitas listrik. Diantaranya : (i) Ketidakstabilan frekuensi (ii) Fluktuasi tegangan (iii) interupsi atau pemadaman listrik. Untuk parameter pertama dan kedua, umumnya permasalahannya muncul di sektor transmisi atau distribusi. Sedangkan parameter ketiga lebih banyak pada sektor pembangkitan, karena terkait masalah pemenuhan kapasitas pasokan terhadap beban. Metoda yang biasa digunakan untuk menentukan indeks itu adalah dengan metoda LOLP (Loss Of Load Probability) atau sering dinyatakan sebagai LOLE (Loss Of Load Expectation). Probabilitas kehilangan beban adalah metode yang dipergunakan untuk mengukur tingkat keandalan dari suatu sistem pembangkit dengan mempertimbangkan kemungkinan terjadinya peristiwa sistem pembangkit tidak dapat mensuplai beban secara penuh.
Banyak kegagalan pembangkit terjadi akibat tidak tersedianya sumber energi primer. Permasalahan ketersediaan ini seringkali menimpa pembangkit-pembangkit berbahan bakar fosil. Di Indonesia sendiri banyak pembangkit berbahan bakar gas yang harus dioperasikan dengan bahan bakar minyak karena langkanya ketersediaan gas untuk konsumsi pembangkit Indonesia. Atau bisa juga karena masalah distribusi yang tersendat, seperti masalah kapal batu bara yang tidak bisa merapat, terganggu akibat faktor cuaca. Sedangkan pada kebanyakan pembangkit listrik energi terbarukan, ketersediaanya memang bisa dibilang cukup menjanjikan, karena semuanya memang sudah tersedia di alam dan tinggal dimanfaatkan saja.
3.   Aspek Ekonomi
Pertimbangan aspek ekonomi pembangkit umumnya meliputi 3 lingkup besar, yaitu: (i) biaya investasi awal; (ii) biaya operasional; (iii) biaya perawatan pembangkit. Sifat ekonomis sebuah sistem pembangkit listrik dapat dilihat dari harga jual listrik untuk setiap kWh (kilo watt kali jam). Salah satu faktor yang mempengaruhi bahwa pembangkit listrik-ekonomis (harga jual listrik serendah mungkin untuk setiap kWh) adalah biaya bahan bakar. Secara umum, biaya bahan bakar untuk pembangkit berbahan bakar fosil adalah 80 % dari biaya pembangkitan dan untuk pembangkit nuklir adalah 50 % dari biaya pembangkitan.
4.   Aspek Lingkungan dan Geografis
Sistem harus sesuai dengan kondisi geografis dan hubungan antarnegara. Sebuah pembangkit dibangun mengacu pada letak geografis dan pengaruhnya terhadap negara tetangga atau negara lain. Misalkan sebuah PLTU dioperasikan dan mengeluarkan gas CO2ke udara. Pengontrolan terhadap pengeluaran gas CO2 perlu di lakukan juga oleh negara tetangga atau negara lain. Di dalam hal ini, kerja sama internasional sangat diperlukan untuk menjamin sistem berkeselamatan andal dan ramah lingkungan.
5.   Aspek Sosial dan Politik
Sistem harus sesuai dengan program penelitian dan pengembangan negara itu serta terbentuknya kerja sama yang harmonis antara pemerintah dan masyarakat untuk menjamin tingkat keselamatan sistem yang tinggi dan andal. Kebutuhan masyarakat dan kebijakan pemerintah tentang program penelitian dan pengembangan bidang energi harus sesuai / searah untuk menjamin perencanaan energi nasional di masa depan berlangsung dengan baik. Energi nasional seharusnya dapat direncanakan dan diprediksi secara jangka pendek maupun jangka panjang dengan berdasarkan 5 kriteria pemilihan/kompatibilitas pembangkit. Hal ini untuk menjamin sebuah sistem pembangkit yang mendukung program energi nasional dapat beroperasi dengan baik dan berkeselamatan. Andal agar lingkungan tidak tercemari dan hubungan kerja sama internasional tetap berlangsung dengan baik. Berdasarkan kriteria tersebut, perencanaan bauran energi nasional sangat diperlukan untuk menghilangkan ketergantungan teknologi kepada salah satu jenis pembangkit, serta menjamin keberlangsungan kebutuhan energi di masa depan.

C. Energi Non Konvensional
     Energi Non Kovensional adalah energi yang dapat terbarukan dan tidak terbatas keberadaannya dialam. Macam dari sumber daya energi ini antara lain energi Matahari, Energi pasang surut/gelombang, energi Panas Bumi, energi Biomassa, dan energi Mikrohidro. Penggunaaan energi ini adalah sebagai pengganti penggunaan minyak bumi, dan sumber energi yang dipakai tidak boleh mengeluarkan polutan terlalu banyak, bahkan bilamana mungkin tidak mengeluarkan polutan sama sekali ( Abdullah Aly, 1991 : 162 )




D. Sumber Daya Energi Non Konvensional
1.   Energi Matahari
Matahari merupakan sumber energi yang tidak ada habisnya. Sebenarnya kita hidup didunia ini hampir sepenuhnya berkat energi matahari karena apa yang kita makan itu sebenarnya energi matahari yang tersimpan dalam tumbuhan maupun hewan. Energi matahari bisa dimanfaatkan menjadi energi listrik dengan menggunakan fotosel atau sel pembangkit listrik dengan bersumber dari cahaya. Energi matahari yang dipancarkan dapat diubah menjadi energi listrik dengan menggunakan solar cells panel. Pembangkit listrik tenaga surya sangat ramah lingkungan, dan sangat menjanjikan. Sebagai salah satu alternatif untuk menggantikan pembangkit listrik tenaga uap (dengan minyak dan batubara). Pada saat ini penggunaan tenaga matahari (solar panel) masih dirasakan mahal karena tidak adanya subsidi. Listrik yang kita gunakan saat ini sebenarnya adalah listrik bersubsidi. Kelebihan Pembangkit Listrik Tenaga Surya :

a.       Energi yang terbarukan/ tidak pernah habis 

b.      Bersih, ramah lingkungan

c.       Umur panel sel surya panjang/ investasi jangka panjang

d.      Praktis, tidak memerlukan perawatan 

e.       Sangat cocok untuk daerah tropis seperti Indonesia

Solar panel sebagai komponen penting pembangkit listrik tenaga surya, mengubah sinar matahari menjadi tenaga listrik. Umumnya kita menghitung maksimun sinar matahari yang diubah menjadi tenaga listrik sepanjang hari adalah 5 jam. Tenaga listrik pada pagi - sore disimpan dalam baterai, sehingga listrik dapat digunakan pada malam hari, dimana tanpa sinar matahari.
Karena pembangkit listrik tenaga surya sangat tergantung kepada sinar matahari, maka perencanaan yang baik sangat diperlukan. Perencanaan terdiri dari:
a.       Jumlah daya yang dibutuhkan dalam pemakaian sehari-hari (Watt).
b.      Berapa besar arus yang dihasilkan solar cells panel (dalam Ampere hour), dalam hal ini memperhitungkan berapa jumlah panel surya yang harus dipasang.
c.       Berapa unit baterai yang diperlukan untuk kapasitas yang diinginkan dan pertimbangan penggunaan tanpa sinar matahari. (Ampere hour).
        Dalam nilai ke-ekonomian, pembangkit listrik tenaga surya memiliki nilai yang lebih tinggi, dimana listrik dari PT. PLN tidak dimungkinkan, ataupun instalasi generator listrik bensin ataupun solar. Misalnya daerah terpencil: pertambangan, perkebunan, perikanan, desa terpencil, dll.  Dari segi jangka panjang, nilai ke-ekonomian juga tinggi, karena dengan perencanaan yang baik, pembangkit listrik tenaga surya dengan panel surya memiliki daya tahan 20 - 25 tahun. Baterai dan beberapa komponen lainnya dengan daya tahan 3 - 5 tahun.
        Untuk instalasi listrik tenaga surya sebagai pembangkit listrik, diperlukan komponen seperti Solar panel, Charge controller, Inverter, dan Battery.  Solar panel mengkonversikan tenaga matahari menjadi listrik. Sel silikon (disebut juga solar cells) yang disinari matahari/ surya, membuat photon yang menghasilkan arus listrik. Sebuah solar cells menghasilkan kurang lebih tegangan 0.5 Volt. Jadi sebuah panel surya 12 Volt terdiri dari kurang lebih 36 sel (untuk menghasilkan 17 Volt tegangan maksimun). Jenis solar panel dapat di baca disini. Charge controller, digunakan untuk mengatur pengaturan pengisian baterai. Tegangan maksimun yang dihasilkan solar cells panel pada hari yang terik akan menghasilkan tegangan tinggi yang dapat merusak baterai. Inverter, adalah perangkat elektrik yang mengkonversikan tegangan searah (DC - direct current) menjadi tegangan bolak balik (AC - alternating current). Baterai, adalah perangkat kimia untuk menyimpan tenaga listrik dari tenaga surya. Tanpa baterai, energi surya hanya dapat digunakan pada saat ada sinar matahari.

2.      Energi Panas Bumi
Energi geothermal atau energi panas bumi adalah energi yang berasl dari inti Bumi. Inti Bumi ini merupakan bahan yang terdiri atas berbagai jenis logam dan batu yang berbentuk cair dan memiliki suhu yang tinggi. Energi geothermal yang kita manfaatkan saat ini melalui air atau uap air yang terkena magma. Pada dataran tinggi yang mempunyai gunung berapi biasanya terdapat sumber-sumber air panas atau semburan-semburan ke atas permukaan bumi yang disebut geiser, bila yang menyembur keluar itu uap air panas maka dapat dimanfaatkan langsung untuk memutar turbin uap. Turbin ini dikaitkan dengan generator pembangkit listrik, dan dengan jalan itulah kita mendapatkan energi listrik yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam keperluan. Tetapi jika yang keluar berupa air panas, maka penggunaan untuk pembangkit listrik tidak dapat secara langsung. Air panas tersebut baru dapat digunakan untuk menguapkan amoniak, yang selanjutnya dapat digunakan untuk memutar turbin.


3.      Energi Angin
Udara yang bergerak disebut dengan angin dan dapat terjadi karena perbedaan tekanan disuatu tempat dengan tempat yang lain. Perbedaan tekanan timbul disebabkan adanya perbedaan suhu. Pemanfaatan angin merupakan salah satu cara menghemat energi yang berasal dari minyak Bumi. Energi angin dapat dimanfaatkan untuk diubah menjadi energi listrik yang prinsipnya sangat sederhana, yaitu angin ditangkap oleh baling-baling atau katakanlah rotor bersayap. Energi putaran (energi mekanis) diteruskan untuk memutar generator pembangkit listrik. Ukuran generator yang dipasang tentu saja harus disesuaikan dengan kapasitas angin dan rotornya. Pengubahan energi angin menjadi energi listrik ini sangat menguntungkan untuk tempat-tempat yang memang terdapat banyak angin. Memang semua tempat tidak memungkinkan untuk dibangun Pembangkit listrik tenaga angin, tetapi sumber energi itu tersedia secara bebas. Angin akan bertiup sepanjang jaman, maka angin juga merupakan salah satu energi alternative pengganti minyak bumi.

4.      Energi Pasang Surut / Gelombang air laut
Gelombang adalah peristiwa naik turunnya permukaan air laut dari ukuran kecil (riak) sampai yang paling panjang (pasang surut). Gelombang ini dipengaruhi oleh kondisi topografi dasar laut dan keadaan angin. Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa keadaan gelombang tertinggi terjadi pada periode bulan desember sampai februari (musim barat), ketinggian gelombang mencapai 1,5 m – 2 m. Sedangkan pada bulan lainnya tinggi gelombang yang tercatat kurang dari 1,5 meter (Nurjaya,1993).
Penyebab utama terjadinya gelombang adalah angin. Gelombang dipengaruhi oleh kecepatan angin, lamanya angin bertiup, dan jarak tanpa rintangan saat angin bertiup (fetch). Gelombang terdiri dari panjang gelombang, tinggi gelombang, periode gelombang, kemiringan gelombang dan frekuensi gelombang. Panjang gelombang adalah jarak berturut-turut antara dua puncak atau dua buah lembah. Tinggi gelombang adalah jarak vertikal antara puncak dan lembah gelombang. Periode gelombang adalah waktu yang dibutuhkan gelombang untuk kembali pada titik semula. Kemiringan gelombang adalah perbandingan antra tinggi dan panjang gelombang. Frekuensi gelombang adalah jumlah gelombang yang terjadi dalam satu satuan waktu.
Pada hakikatnya, gelombang yang terbentuk oleh hembusan angin akan merambat lebih jauh dari daerah yang menimbulkan angin tersebut. Hal ini yang menyebabkan daerah di pantai selatan Pulau Jawa memiliki gelombang yang besar meskipun angin setempat tidak begitu besar. Gelombang besar yang datang itu bisa merupakan gelombang kiriman yang berasal dari badai yang terjadi jauh dibagian selatan Samudera Hindia. (http://jlcome.blogspot.com/2007/12/gelombang-air-laut.html)
Ternyata di balik gelombang laut itu terdapat energi yang bisa dimanfaatkan. Kini gelombang laut telah dimanfaatkan sebagai sumber energi pembangkit listrik. Memang berbicara pembangkit listrik tenaga gelombang laut (PLTGL) kurang begitu popular. Sejumlah negara telah membangun PLTGL, tetapi jumlah masih sedikit.
Pada dasarnya prinsip kerja teknologi yang mengkonversi energi gelombang laut menjadi energi listrik adalah mengakumulasi energi gelombang laut untuk memutar turbin generator. Karena itu, sangat penting memilih lokasi yang secara topografi memungkinkan akumulasi energi. Meskipun penelitian untuk mendapatkan teknologi yang optimal dalam mengonversi energi gelombang laut masih terus dilakukan.
Secara umum, potensi energi gelombang laut yang dapat menghasilkan listrik dibagi menjadi tiga tipe potensi energi yaitu energi pasang surut (tidal power), energi gelombang laut (wave energi), dan energi panas laut (ocean thermal energi). Energi pasang surut merupakan energi yang dihasilkan dari pergerakan air laut akibat perbedaan pasang surut. Energi gelombang laut adalah energi yang dihasilkan dari per­gerakan gelombang laut menuju daratan dan sebaliknya. Sedangkan energi pa­nas laut memanfaatkan per­be­daan temperatur air laut di permukaan dan di kedalaman.
Alternatif teknologi pembangkit tenaga gelombang laut yang lebih banyak dikembangkan adalah teknik osilasi kolom air (oscillating water column). Proses pembangkitan tenaga listrik dengan teknologi ini melalui 2 tahapan proses. Gelombang laut yang datang menekan udara pada kolom air yang diteruskan ke kolom atau ruang tertutup yang terhubung dengan turbin generator. Tekanan tersebut menggerakkan turbin generator pembangkit listrik. Sebaliknya, gelombang laut yang meninggalkan kolom air diikuti oleh gerakan udara dalam ruang tertutup yang menggerakkan turbin generator pembangkit listrik.


5.      Energi Biomassa
Biomasa adalah segala jasad hidup yang dapat digunakan untuk menghasilkan energi bila dibakar, yaitu berupa sampah-sampah organik sebagai sisa-sisa produksi pertanian. Biomassa yang berupa sampah atau sisa-sisa yang tak berharga dapat digunakan sebagai sumber energi karena ia masih menyimpan energi matahari. Biomassa yang dapat dipakai sebagai bahan bakar itu tidak selalu berupa sampah, kadang-kadang berupa tanaman yang cepat tumbuh seperti angsana, akasia, dan sebagainya dapat digunakan sebagai bahan bakar secara ekonomis, atau sebagai sumber energi yang murah.
Pengambilan energi dari biomassa prinsipnya adalah membakar biomassa itu dalam tungku pembakar. Panas yang timbul digunakan untuk mendidihkan air, dari air mendidih itu timbul uap yang dapat digunakan untuk menggerakkan turbin uap. Selanjutnya turbin uap ini dapat menggerakkan generator listrik. Energi listrik dapat didistribusikan untuk berbagai macam keperluan.

6.      Energi Mikro Hidro
Mikrohidro atau yang dimaksud dengan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH), adalah suatu pembangkit listrik skala kecil yang menggunakan tenaga air sebagai tenaga penggeraknya seperti, saluran irigasi, sungai atau air terjun alam dengan cara memanfaatkan tinggi terjunan dan jumlah debit air. Mikrohidro merupakan sebuah istilah yang terdiri dari kata mikro yang berarti kecil dan hidro yang berarti air. Secara teknis, mikrohidro memiliki tiga komponen utama yaitu air (sebagai sumber energi), turbin dan generator. Mikro hidro mendapatkan energi dari aliran air yang memiliki perbedaan ketinggian tertentu. Pada dasarnya, mikrohidro memanfaatkan energi potensial jatuhan air. Semakin tinggi jatuhan air maka semakin besar energi potensial air yang dapat diubah menjadi energi listrik. Di samping faktor geografis (tata letak sungai), tinggi jatuhan air dapat pula diperoleh dengan membendung aliran air sehingga permukaan air menjadi tinggi. Air dialirkan melalui sebuah pipa pesat kedalam rumah pembangkit yang pada umumnya dibagun di bagian tepi sungai untuk menggerakkan turbin atau kincir air mikrohidro. Energi mekanik yang berasal dari putaran poros turbin akan diubah menjadi energi listrik oleh sebuah generator. Mikrohidro bisa memanfaatkan ketinggian air yang tidak terlalu besar, misalnya dengan ketinggian air 2.5 meter dapat dihasilkan listrik 400 watt. Relatif kecilnya energi yang dihasilkan mikrohidro dibandingkan dengan PLTA skala besar, berimplikasi pada relatif sederhananya peralatan serta kecilnya areal yang diperlukan guna instalasi dan pengoperasian mikrohidro. Hal tersebut merupakan salah satu keunggulan mikrohidro, yakni tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. Perbedaan antara Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dengan mikrohidro terutama pada besarnya tenaga listrik yang dihasilkan, PLTA dibawah ukuran 200 KW digolongkan sebagai mikrohidro. Dengan demikian, sistem pembangkit mikrohidro cocok untuk menjangkau ketersediaan jaringan energi listrik di daerah-daerah terpencil dan pedesaan. Beberapa keuntungan yang terdapat pada pembangkit listrik tenaga listrik mikrohidro adalah sebagai berikut :
1.         Dibandingkan dengan pembangkit listrik jenis yang lain, PLTMH ini cukup murah karena menggunakan energi alam.
2.         Memiliki konstruksi yang sederhana dan dapat dioperasikan di daerah terpencil dengan tenaga terampil penduduk daerah setempat dengan sedikit latihan.
3.         Tidak menimbulkan pencemaran.
4.         Dapat dipadukan dengan program lainnya seperti irigasi dan perikanan.
5.         Dapat mendorong masyarakat agar dapat menjaga kelestarian hutan sehingga ketersediaan air terjamin.
Penggunaan beberapa komponen disesuaikan dengan tempat instalasi ( kondisi geografis, baik potensi aliran air serta ketinggian tempat ) serta budaya masyarakat. Sehingga terdapat kemungkinan terjadi perbedaan desain mikro hidro serta komponen yang digunakan antara satu daerah dengan daerah yang lain. Mikro hidro juga dikenal sebagai white resources dengan terjemahan bebas bisa dikatakan “energi putih”. Dikatakan demikian karena instalasi pembangkit listrik seperti ini menggunakan sumber daya yang telah disediakan oleh alam dan ramah lingkungan. Suatu kenyataan bahwa alam memiliki air terjun atau jenis lainnya yang menjadi tempat air mengalir. Dengan teknologi sekarang maka energi aliran air beserta energi perbedaan ketinggiannya dengan daerah tertentu (tempat instalasi akan dibangun) dapat diubah menjadi energi listrik, Seperti dikatakan di atas, Mikrohidro hanyalah sebuah istilah. Mikro artinya kecil sedangkan hidro artinya air. Dalam prakteknya, istilah ini tidak merupakan sesuatu yang baku namun bisa dibayangkan bahwa Mikrohidro pasti mengunakan air sebagai sumber energinya.


BAB III
METODE PENULISAN

A.  Jenis Penulisan
Karya tulis ini termasuk jenis deskriptif kualitatif, Nawawi (1991:31) berpendapat bahwa penelitian deskriptif kualitatif terbatas pada usaha mengungkapkan suatu masalah/keadaan/peristiwa sebagaimana adanya sehingga bersifat hanya sekedar mengungkapkan fakta (fact finding). Dari fakta yang diperoleh selanjutnya digunakan sebagai acuan untuk menciptakan sebuah solusi dalam mengurangi jumlah BBM yang digunakan untuk pembangkit listrik dengan cara mengoptimalkan potensi-potensi alam yang merupakan sumber energi non-konvensional di Indonesia.

B.  Teknik Pengumpulan Data
Dalam penulisan karya tulis ini, pengumpulan data dilakukan menggunakan metode pengumpulan data yaitu studi kepustakaan, yang diperoleh dari media massa, pustaka yang relevan, internet, dan sumber-sumber lain yang berkaitan dengan masalah pengurangan penggunaan BBM sebagai pembangkit listrik nasional dengan cara mengoptimalkan sumber daya energi non-konvensional.

C.  Teknik Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan dengan menggambungkan data-data yang diperoleh dari pustaka-pustaka, jurnal, surat kabar serta data-data dari internet yang kemudian disimpulkan secara deduktif dan induktif. Deduktif merupakan metode pengolahan data dengan menjabarkan data yang bersifat umum ke bentuk yang lebih khusus. Sedangkan induktif merupakan metode pengolahan data dengan menyimpulkan data yang bersifat khusus ke dalam bentuk yang lebih umum. 

D.  Teknik Analisis Data
Teknik analisis yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini adalah dengan mencari dan menemukan gambaran umum atau pengertian yang bersifat menyeluruh. Langkah-langkah analisis data tersebut meliputi sebagai berikut: reduksi data, display data, pengambilan kesimpulan dan verifikasi (Husaini Usman 2004:84). Analisis ini dilakukan dengan menginfentarisir permasalahan mengenai ketersediaan BBM yang digunakan untuk tenaga pembangkit listrik nasional yang jumlahnya semakin menipis selanjutnya dikembangkan solusi permasalahan tersebut dengan cara mengoptimalkan penggunaan sumber daya energi non-konvensional di Indonesia.
































BAB IV
PEMBAHASAN

A. Peluang Pengembangan Energi Non-Konvensional di Indonesia
1.      Menipisnya cadangan minyak bumi
Setelah terjadinya krisis energi yang mencapai puncak pada dekade 1970, dunia menghadapi kenyataan bahwa persediaan minyak bumi, sebagai salah satu tulang punggung produksi energi terus berkurang. Bahkan beberapa ahli berpendapat, bahwa dengan pola konsumsi seperti sekarang, maka dalam waktu 50 tahun cadangan minyak bumi dunia akan habis. Keadaan ini bisa diamati dengan kecenderungan meningkatnya harga minyak di pasar dalam negeri, serta ketidakstabilan harga tersebut di pasar internasional, karena beberapa negara maju sebagai konsumen minyak terbesar mulai melepaskan diri dari ketergantungannya kepada minyak bumi sekaligus berusaha mengendalikan harga, agar tidak meningkat. Sebagai contoh; pada tahun 1970 negara Jerman mengkonsumsi minyak bumi sekitar 75 persen dari total konsumsi energinya, namun pada tahun 1990 konsumsi tersebut menurun hingga tinggal 50 persen (Pinske, 1993).
Jika dikaitkan dengan penggunaan minyak bumi sebagai bahan bakar sistem pembangkit listrik, maka kecenderungan tersebut berarti akan meningkatkan pula biaya operasional pembangkitan yang berpengaruh langsung terhadap biaya satuan produksi energi listriknya. Di lain pihak biaya satuan produksi energi listrik dari sistem pembangkit listrik yang memanfaatkan sumber daya energi terbarukan menunjukkan tendensi menurun, sehingga banyak ilmuwan percaya, bahwa pada suatu saat biaya satuan produksi tersebut akan lebih rendah dari biaya satuan produksi dengan minyak bumi atau energi fosil lainnya.
2.      Meningkatnya kesadaran masyarakat akan pelestarian lingkungan
Dalam sepuluh tahun terakhir ini, pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pelestarian lingkungan hidup menunjukkan gejala yang positif. Masyarakat makin peduli akan upaya penanggulangan segala bentuk polusi, mulai dari sekedar menjaga kebersihan lingkungan sampai dengan mengontrol limbah buangan dan sisa produksi. Banyak pembangunan proyek fisik yang memperhatikan faktor pelestarian lingkungan, sehingga perusakan ataupun pengotoran yang merugikan lingkungan sekitar dapat dihindari, minimal dikurangi. Setiap bentuk produksi energi dan pemakaian energi secara prinsip dapat menimbulkan bahaya bagi manusia, karena pencemaran udara, air dan tanah, akibat pembakaran energi fosil, seperti batubara, minyak dan gas di industri, pusat pembangkit maupun kendaraan bermotor. Limbah produksi energi listrik konvensional, dari sumber daya energi fosil, sebagian besar memberi kontribusi terhadap polusi udara, khususnya berpengaruh terhadap kondisi iklim.
Pembakaran energi fosil akan membebaskan Karbondioksida (CO2) dan beberapa gas yang merugikan lainnya ke atmosfir. Pembebasan ini merubah komposisi kimia lapisan udara dan mengakibatkan terbentuknya efek rumah kaca (treibhouse effect), yang memberi kontribusi pada peningkatan suhu bumi. Guna mengurangi pengaruh negatif tersebut sudah sepantasnya dikembangkan pemanfaatan sumber daya energi terbarukan dalam produksi energi listrik. Sebagai ilustrasi, setiap kWh energi listrik yang diproduksi dari energi terbarukan dapat menghindarkan pembebasan 974 gr CO2, 962 mg SO2 dan 700 mg NOx ke udara, dari pada jika diproduksi dari energi fosil. Bisa dihitung, jika pada tahun 1990 yang lalu 85 persen dari produksi energi listrik di Indonesia (sekitar 43.200 GWh) dihasilkan oleh energi fosil, berarti terjadi pembebasan 42 juta ton CO2, 41,5 ribu ton SO2 serta 30 ribu ton NOx. Kita tahu bahwa CO2 merupakan salah satu penyebab terjadinya efek rumah kaca, SO2 mengganggu proses fotosintesis pada pohon, karena merusak zat hijau daunnya, serta menjadi penyebab terjadinya hujan asam bersama-sama dengan NOx. Sedangkan NOx sendiri secara umum dapat menumbuhkan sel-sel beracun dalam tubuh mahluk hidup serta meningkatkan derajat keasaman tanah dan air jika bereaksi dengan SO2.
Melalui Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. KEP-13/MENLH/3/1995 telah mengeluarkan peraturan standar emisi untuk pembangkit tenaga listrik.  Peraturan ini mengatur batas maksimum dari semua emisi yang dikeluarkan, yaitu batas maksimum untuk partikel sebesar 150 mg/m3, emisi SO2 sebesar 750 mg/m3, emisi NO2  sebesar 850 mg/m3, dan tingkat opasitas sebesar 20 %.  Dengan adanya batas maksimum pengeluaran emisi tersebut, menyebabkan pemilihan teknologi pembangkit tenaga listrik perlu mempertimbangkan penggunaan teknologi baru yang lebih efisien dan ramah lingkungan.

B.     Kelebihan dan Kendala pengembangan Energi Non - Konvensional di Indonesia
Pemanfaatan sumber daya energi terbarukan atau energi non Konvensional sebagai bahan baku produksi energi listrik mempunyai kelebihan antara lain;
  1. Relatif mudah didapat, karena kondisi geografis Indonesia yang strategis, yaitu terletak dikatulistiwa sehingga mendapat penyinaran matahari secara optimum, hal tersebut bias dimanfaatkan untuk pembangkit listrik tenaga matahari. Selain itu Indonesia mempunyai wilayah kepulauan dimana terdapat tenaga angin dan gelombang disetiap pantainya, hal ini bias dimanfaatkan sebagai energi pembangkit listrik pula, Indonesia mempunyai topografi yang beraneka ragam, topografi yang bergunung-gunung memungkinkan untuk adanya air terjun, baik skala kecil maupun skala besar, hal tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi listrik mikro hidro. Serta masih banyak lagi potensi-potensi energi Non- Konvensional di Indonesia yang pemanfaatannya belum optimal.
  2. Dapat diperoleh dengan gratis, sehingga biaya operasional sangat rendah,
  3. Tidak mengenal problem limbah,
  4. Proses produksinya tidak menyebabkan kenaikan temperatur bumi, dan
  5. Tidak terpengaruh kenaikkan harga bahan bakar (Jarass,1980).
Akan tetapi bukan berarti pengembangan pemanfaatan sumber daya energi terbarukan ini terbebas dari segala kendala. Khususnya di Indonesia ada beberapa kendala yang menghambat pengembangan energi terbarukan bagi produksi energi listrik, seperti:
  1. Harga jual energi fosil, misal; minyak bumi, solar dan batubara, di Indonesia masih sangat rendah. Sebagai perbandingan, harga solar/minyak disel di Indonesia Rp.380,-/liter sementara di Jerman mencapai Rp.2200,-/liter, atau sekitar enam kali lebih tinggi.
  2. Rekayasa dan teknologi pembuatan sebagian besar komponen utamanya belum dapat dilaksanakan di Indonesia, jadi masih harus mengimport dari luar negeri.
  3. Biaya investasi pembangunan yang tinggi menimbulkan masalah finansial pada penyediaan modal awal.
  4. Belum tersedianya data potensi sumber daya yang lengkap, karena masih terbatasnya studi dan penelitian yang dilkakukan.
  5. Secara ekonomis belum dapat bersaing dengan pemakaian energi fosil.
  6. Kontinuitas penyediaan energi listrik rendah, karena sumber daya energinya sangat bergantung pada kondisi alam yang perubahannya tidak tentu.
Potensi sumber daya energi terbarukan, seperti; matahari, angin dan air, ini secara prinsip memang dapat diperbarui, karena selalu tersedia di alam. Namun pada kenyataannya potensi yang dapat dimanfaatkan adalah terbatas. Tidak di setiap daerah dan setiap waktu; matahari bersinar cerah, air jatuh dari ketinggan dan mengailir deras serta angin bertiup dengan kencang di sebabkan oleh keterbatasan-keterbatasan tersebut, nilai sumber daya energi sampal saat ini belum dapat begitu menggantikan kedudukan sumber daya energi fosil sebagai bahan baku produksi energi listrik. Oleh sebab itu energi terbarukan ini lebih tepat disebut sebagai energi aditif, yaitu sumber daya energi tambahan untuk memenuhi peningkatan kebutuhan energi listrik, serta menghambat atau mengurangi peranan sumber daya energi fosil.

C.    Strategi Pengembangan Energi Terbarukan di Indonesia
Berdasar atas kendala-kendala yang dihadapi dalam upaya mengembangkan dan meningkatkan peran energi terbarukan pada produksi energi listrik khususnya, maka beberapa strategi yang mungkin diterapkan, antara lain:
  1. Meningkatkan kegiatan studi dan penelitian yang berkaitan dengan; pelaksanaan identifikasi setiap jenis potensi sumber daya energi terbarukan secara lengkap di setiap wilayah; upaya perumusan spesifikasi dasar dan standar rekayasa sistem konversi energinya yang sesuai dengan kondisi di Indonesia; pembuatan "prototype" yang sesuai dengan spesifikasi dasar dan standar rekayasanya; perbaikan kontinuitas penyediaan energi listrik; pengumpulan pendapat dan tanggapan masyarakat tentang pemanfaatan energi terbarukan tersebut.
  2. Menekan biaya investasi dengan menjajagi kemungkinan produksi massal sistem pembangkitannya, dan mengupayakan agar sebagian komponennya dapat diproduksi di dalam negeri, sehingga tidak semua komponen harus diimport dari luar negeri. Penurunan biaya investasi ini akan berdampak langsung terhadap biaya produksi.
  3. Memasyarakatkan pemanfaatan energi terbarukan sekaligus mengadakan analisis dan evaluasi lebih mendalam tentang kelayakan operasi sistem di lapangan dengan pembangunan beberapa proyek percontohan .
  4. Meningkatkan promosi yang berkaitan dengan pemanfaatan energi dan upaya pelestarian lingkungan.
  5. Memberi prioritas pembangunan pada daerah yang meliki potensi sangat tinggi, baik teknis maupun sosio-ekonomisnya.
  6. Memberikan subsidi silang guna meringankan beban finansial pada tahap pembangunan. Subsidi yang diberikan, dikembalikan oleh konsumen berupa rekening yang harus dibayarkan pada setiap periode waktu tertentu. Dana yang terkumpul dari rekening tersebut digunakan untuk mensubsidi pembangunan sistem pembangkit energi listrik di wilayah lain.

D.    Penerapan Sumber Energi Non-Konvensional di Indonesia
1.      Energi Matahari
Di antara sumber energi alternatif yang saat ini banyak dikembangkan seperti turbin angin, tenaga air (hydro power) dan lain-lain, tenaga surya atau solar sel merupakan salah satu sumber yang cukup menjanjikan di Indonesia. Energi yang dikeluarkan oleh sinar matahari sebenarnya hanya diterima oleh permukaan bumi sebesar 69 % dari total energi pancaran matahari. Suplai energi surya dari sinar matahari yang diterima oleh permukaan bumi sangat luar biasa besarnya yaitu mencapai 3 x 1024 joule pertahun, energi ini setara dengan 2 x 1017 Watt. Jumlah energi sebesar itu setara dengan 10.000 kali konsumsi energi di seluruh dunia saat ini. Dengan kata lain, dengan menutup 0,1 persen saja permukaan bumi dengan divais solar sel yang memiliki efisiensi 10 % sudah mampu untuk menutupi kebutuhan energi di seluruh dunia saat ini.
Pada tengah hari yang cerah radiasi sinar matahari mampu mencapai 1000 Watt/m2. Jika sebuah divais semikonductor seluas 1 m2 memiliki efisiensi 10 % maka modul solar sel ini mampu memberikan tenaga listrik sebesar 100 Watt. Saat ini efisiensi modul solar sel komersial berkisar antara 5 – 15 % tergantung material penyusunnya. Karena fleksibel, sel surya yang dihasilkan bisa dibentuk seperti genting, jendela, atau bentuk bagian bangunan lainnya.
Indonesia terletak di garis katulistiwa, sehingga  Indonesia mempunyai sumber energi surya yang berlimpah dengan intensitas radiasi matahari rata-rata sekitar 4.8 kWh/m2 per hari di seluruh wilayah Indonesia (Irawan dan Ira Fitriana : 2005).  Dengan berlimpahnya sumber energi surya yang belum dimanfaatkan secara optimal, sedangkan di sisi lain ada sebagian wilayah Indonesia yang belum terlistriki karena tidak terjangkau oleh jaringan listrik PLN, sehingga Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dengan sistemnya yang modular dan mudah dipindahkan merupakan salah satu solusi yang dapat dipertimbangkan  sebagai salah satu pembangkit listrik alternatif.
Data hasil pengukuran intensitas radiasi tenaga surya diseluruh Indonesia yang sebagian besar dilakukan oleh BPPT dan si sanya oleh BMG dari tahun 1965 hingga 1995 ditunjukkan pada Tabel 1.
Pada Tabel 1. terlihat bahwa Nusa Tenggara Barat dan Papua mempunyai intensitas radiasi matahari paling tinggi di seluruh wilayah Indonesia, sedangkan Bogor mempunyai intensitas radiasi matahari paling rendah di seluruh wilayah Indonesia.  Dalam penelitian potensi PLTS di Indonesia ini, semua wilayah baik yang mempunyai intensitas radiasi matahari paling tinggi maupun paling rendah dipertimbangkan.
Secara umum biaya pembangkitan PLTS lebih mahal dibandingkan dengan biaya pembangkitan pembangkit listrik tenaga fosil, pembangkit listrik tenaga air, minihidro, dan panas bumi.  Tetapi seiring dengan adanya penelitian dari Amerika yang menyatakan bahwa biaya investasi PLTS di masa datang akan menurun, sehingga dengan dihapuskannya subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) secara bertahap dimungkinkan PLTS dapat dipertimbangkan sebagai pembangkit listrik alternatif.
Pada tahun 2002, masih banyak daerah terpencil dan pedesaan yang tidak dilewati jaringan listrik PLN, sehingga hanya pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) yang dimanfaatkan di daerah tersebut. Dengan makin sulitnya memperoleh kesinambungan pasokan minyak solar, menyebabkan beberapa wilayah di Indonesia memanfaatkan PLTS untuk subsitusi PLTD.  Pemanfaatan PLTS khusus untuk daerah pedesaan yang kebutuhan listriknya rendah, mengingat di daerah ini listrik diutamakan untuk penerangan.  Selain untuk penerangan ada beberapa wilayah yang memanfaatkan PLTS sebagai sumberdaya listrik untuk telekomunikasi, lampu suar, lemari pendingin (Puskesmas), dan pompa air.  Pada tahun tersebut, total kapasitas terpasang PLTS di wilayah Indonesia hampir mencapai 3 MWp. (Irawan dan Ira Fitriana : 2005)
Pada tahun 1996 tentang pemanfaatan PLTS di 15 provinsi di Indonesia, khususnya di wilayah-wilayah terpencil yang sulit dijangkau oleh jaringan distribusi listrik nasional (PLN) dengan kapasitas 50 Wp per rumah tangga dengan total unit sebanyak 3.430. Selanjutnya, pemerintah mencetuskan Program Listrik Sejuta Rumah, khususnya untuk 9 provinsi di Kawasan Timur Indonesia yang sampai saat ini telah terpasang sebanyak 37.800 unit.  Kemudian ditambah dengan kapasitas terpasang PLTS yang diterapkan melalui DJLPE, Pemerintah Daerah, Departemen Kesehatan, dan Badan Pemerintah lainnya.  Sayangnya pemanfaatan PLTS ini tidak dapat berkembang, bahkan sebagian PLTS yang terpasang telah rusak dan belum diperbaiki karena banyak mengalami kendala teknis dan ekonomi seperti tingginya biaya investasi dan perawatan.  Peranan PLTS di Jawa dan Sumatra disebabkan gas bumi dan bahan bakar minyak sudah terbatas, sehingga gas bumi lebih diutamakan untuk memenuhi kebutuhan industri dari pada untuk pembangkit listrik.
Hambatan utama dari penerapan teknologi ini adalah mahalnya teknologi peralatan yang dipakai untuk memproduksinya. Teknologi terbaru yang masih dalam tahap pengembangan adalah sel surya berbasis bahan organik. Teknologi yang digunakan berbeda jauh dengan teknologi sel surya konvensional. Jika teknologi manufaktur yang murah bisa diciptakan maka sel surya organik semacam ini bisa jauh lebih murah dibanding sel surya konvensional. Sampai tahun 2025, pemerintah Indonesia berencana memasang PLTS sampai 1000 MW. Jika melihat kebutuhan akan PLTS dunia, maka peluang bisnis PLTS sangat-sangat besar. Sayangnya, hanya sedikit orang Indonesia yang menguasai teknologi ini. Tidak ada industri di Indonesia yang memproduksi sel surya, biasanya baru terbatas merakitnya. Seperti halnya pembangkit listrik energi terbarukan lainnya, hanya sedikit orang atau industri di Indonesia yang menguasai teknologi elektronika daya yang diperlukan dalam PLTS. Terus naiknya pasar pembangkit listrik berbasis PLTS harus digunakan sebagai momentum untuk mempersiapkan diri sehingga rakyat Indonesia tidak hanya menjadi konsumen dan penonton. Persiapan ini harus mencakup persiapan sumber daya manusia, industri, dan peraturannya. Hambatan subsidi yang menyebabkan penerapan penerapan PLTS kurang ekonomis harus secara bertahap diatasi.

2.      Energi Panas Bumi
Indonesia mempunyai potensi panas bumi kurang lebih 39% dari keseluruhan potensi dunia, sehingga banyak sekali energi yang bisa dihasilkan dari panas bumi tersebut. Persebaran daerah yang mempunyai potensi tersebut antara lain di Sumatera terdapat 5777 Mw (mega watt), di Jawa terdapat 1370 Mw, di sulawesi terdapat 1075 Mw, di Bali terdapat 75 Mw, Nusa Tenggara terdapat 1900 Mw, Maluku terdapat 750 Mw. Dan total yang dimiliki Indonesia adalah 10.947 Mw. (Soetoto : 2008)
      Lokasi Panas bumi yang berhubungan dengan adanya gunung api, di Indonesia sendiri lokasi-lokasi penyedia tenaga panas bumi terdapat di Jawa Barat, yang tersebar di daerah Kamojang (daerah ini menghasilkan sebasar 40 Mw), di daerah Drajat (menghasilkan energi listrik 10 Mw). Di Jawa Tengah, terdapat di daerah dataran tinggi Dieng yang menghasilkan energi listrik sebesar 15 Mw. Di Banten, sumber energi panas bumi terdapat di Kaldera Rawa Danau, di Bali terdapat di Kaldera Buyan, Flores Barat terdapat di Kaldera Pocoleok, di Sulawesi utara terdapat di sisa kawah letusan Linow. Sedangkan energi panas bumi yang lokasinya berhubungan dengan sesar, antara lain terdapat di Suoh ( Lampung), Serampas, Lempur, Sumurup (Kerinci), Muara labuh (Sumatra barat), Masepe (Sumatera Selatan). (Soetoto : 2008)
Berdasarkan data yang diperoleh dari geothermal.itb.ac.id. Di  Indonesia usaha pencarian sumber energi panasbumi pertama kali dilakukan didaerah Kawah Kamojang pada tahun 1918.  Pada tahun 1926 hingga tahun 1929 lima sumur eksplorasi dibor dimana sampai saat ini salah satu dari sumur tersebut, yaitu  sumur KMJ 3 masih memproduksikan  uap  panas kering atau dry steam. Pecahnya perang dunia  dan perang kemerdekaan Indonesia mungkin merupakan salah satu alasan  dihentikannya  kegiatan eksplorasi di daerah tersebut. Kegiatan eksplorasi  panas bumi di Indonesia  baru  dilakukan secara luas pada tahun 1972. Direktorat Vulkanologi dan Pertamina, dengan bantuan Pemerintah Perancis dan New Zealand melakukan survey pendahuluan di seluruh wilayah Indonesia.  Dari hasil survey dilaporkan bahwa di Indonesia terdapat 217 prospek panas bumi, yaitu di sepanjang jalur vulkanik mulai dari bagian Barat  Sumatera, terus  ke Pulau Jawa, Bali, Nusatenggara  dan kemudian membelok ke arah utara melalui Maluku dan Sulawesi. Survey yang dilakukan selanjutnya telah  berhasil  menemukan beberapa daerah prospek baru sehingga jumlahnya meningkat  menjadi 256 prospek,  yaitu 84 prospek di Sumatera, 76 prospek di Jawa,  51  prospek  di   Sulawesi, 21  prospek di Nusatenggara, 3 prospek di Irian, 15 prospek  di Maluku  dan 5 prospek  di Kalimantan. Sistim panas bumi di Indonesia umumnya   merupakan  sistim hidrothermal  yang  mempunyai  temperatur tinggi (>225oC),  hanya beberapa diantaranya yang mempunyai temperatur sedang (150 225o C). 
Menurut data dari Departemen ESDM di Jawa barat terdapat potensi sumber daya alam panas bumi yang luar biasa besar dan merupakan yang terbesar di Indonesia. Potensi panas bumi di Jawa Barat mencapai 5411 MW atau 20 % dari total potensi yang dimiliki Indonesia. Sebagian potensi panas bumi tersebut bahkan telah dimanfaatkan untuk pembangkit listrik, seperti :
a.       PI-TP Kamojang di dekat Garut, memiliki unit 1, 2, 3 dengan kapasitas total 140 MW. Potensi yang masih dapat dikembangkan sekitar 60 MW.
b.      PLTP Darajat, 60 km sebelah tenggara Bandung dengan kapasitas 55 MW
c.       PLTP Gunung Salak di Sukabumi, terdiri dari unit 1, 2, 3, 4, 5, 6 dengan kapasitas total 330 M1K
d.      PI-TP Wayang Windu di Pangalengan dengan kapasitas 110 MW.
Pemanfaatan energi panas bumi memang tidak mudah. Energi panas bumi yang umumnya berada di kedalaman 1.000-2.000 meter di bawah permukaan tanah sulit ditebak keberadaan dan "karakternya". Investasi untuk menggali energi panas bumi tidak sedikit karena tergolong berteknologi dan berisiko tinggi. Investasi untuk kapasitas di bawah satu MW, berkisar US$ 3.000-5.000 per kilowatt (kW). Sementara untuk kapasitas di atas satu MW, diperlukan investasi US$ 1.500-2.500 per kW. Tantangan selanjutnya adalah akibat sifat panas yang "site specific" kondisi geologis setempat. Karakter produksi dan kualitas produksi akan berbeda dari satu area ke area yang lain. Penurunan produksi yang cepat, sebagai contoh, merupakan karakter produksi yang harus ditanggung oleh pengusaha atau pengembang, ditambah kualitas produksi yang kurang baik, dapat menimbulkan banyak masalah di pembangkit. Misainya, kandungan gas yang tinggi mengakibatkan investasi lebih besar di hilir atau pembangkitnya. 
Dalam pembangkitan listrik, harga jual per kWh yang ditetapkan PLN dinilai terialu murah sehingga tak sebanding dengan biaya eksplorasi dan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). Dalam hat ini, PLN tidak bisa disalahkan karena tarif dasar listrik yang ditetapkan pemerintah masih di bawah harga komersial, yaitu tuluh sen dollar AS per kWh. 
Di sisi lain, adanya potensi panas bumi di suatu daerah biasanya di pegunungan dan terpencil-sering tak bisa dimanfaatkan karena kebutuhan listrik di daerah itu sedikit sehingga belum ekonomis untuk mengeksplorasi dan memanfaatkan energi panas bumi tersebut
       
3.      Energi Angin
Angin adalah salah satu bentuk energi yang tersedia di alam, Pembangkit Listrik Tenaga Angin mengkonversikan energi angin menjadi energi listrik dengan menggunakan turbin angin atau kincir angin. Indonesia merupakan negara kepulauan yang 2/3 wilayahnya adalah lautan dan mempunyai garis pantai terpanjang di dunia yaitu ± 80.791,42 Km merupakan wilayah potensial untuk pengembangan pembangkit listrik tenaga angin, namun sayang potensi ini nampaknya belum dilirik oleh pemerintah.
Sebagai negara yang berada di ekuator, potensi dari PLTB memang tidak terlalu besar. Akan tetapi berdasarkan data yang ada, ada beberapa daerah di Indonesia, misal NTB dan NTT, yang mempunyai potensi bagus. Sebagian besar daerah di Indonesia mempunyai kecepatan angin rata-rata sekitar 4 m/s, kecuali di dua propinsi tersebut. Oleh sebab itu, PLTB yang cocok dikembangkan di Indonesia adalah pembangkit dengan kapasitas di bawah 100 kW. Tentu saja ini berbeda dengan Eropa yang berkonsentrasi untuk mengembangkan PLTB dengan kapasitas di atas 1 MW atau lebih besar lagi untuk dibangung di lepas pantai.
Teknologi turbin atau kincir angin yang diperlukan dalam PLTB telah dikuasai oleh orang Indonesia dan beberapa industri lokal telah mampu membuatnya dengan baik. Generator yang digunakan bisa menggunakan generator induksi (yang murah dan kokoh) atau generator magnet permanen yang efisien. Kedua teknologi generator ini telah dikuasai oleh orang Indonesia dan beberapa industri telah mampu membuatnya. Yang menjadi masalah adalah bahan baku yang sebagian besar harus didatangkan dari luar. Teknologi penyearah dan inverter juga dikuasai oleh orang Indonesia walaupun industri yang mampu membuatnya masih terbatas. Di Indonesia juga tidak tersedia orang yang menguasai teknologi komponen elektronika daya, apalagi industrinya. Semua komponen elektronika daya harus didatangkan dari luar. Di Indonesia, peneliti yang mendalami teknologi elektronika daya juga sangat terbatas. Perkembangan kebutuhan akan pembangkit listrik berbasis SEA ini sebaiknya diambil oleh pemerintah Indonesia untuk mengembangkan industri elektronika daya berserta sumber daya manusianya.
Di tengah potensi angin melimpah di kawasan pesisir Indonesia, total kapasitas terpasang dalam sistem konversi energi angin saat ini kurang dari 800 kilowatt. Di seluruh Indonesia, lima unit kincir angin pembangkit berkapasitas masing-masing 80 kilowatt (kW) sudah dibangun. Tahun 2007, tujuh unit dengan kapasitas sama menyusul dibangun di empat lokasi, masing-masing di Pulau Selayar tiga unit, Sulawesi Utara dua unit, dan Nusa Penida, Bali, serta Bangka Belitung, masing-masing satu unit. Mengacu pada kebijakan energi nasional, maka pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) ditargetkan mencapai 250 megawatt (MW) pada tahun 2025. ( Sumber : Green and Clean Energi for Indonesia)
Masalah utama dari penggunaan PLTB adalah ketersediaannya yang rendah. Untuk mengatasi masalah ini maka PLTB harus dioperasikan secara paralel dengan pembangkit listrik lainnya. Pembangkit listrik lainnya bisa berbasis Sumber Energi Alternatif (SEA) atau pembangkit konvensional. Walaupun sebuah PLTB hanya membangkitkan daya kurang dari 100 kW, kita bisa membangun puluhan PLTB dalam satu daerah. Dengan memanfaatkan PLTB maka kebutuhan akan bahan bakar fossil akan jauh berkurang. Selain mengurangi biaya operasi, penggunaan PLTB akan meningkatkan jaminan pasokan energi suatu daerah. Di daerah kepulauan seperti halnya NTB dan NTT, yang mana semua kebutuhan energinya harus didatangkan dari daerah lain, keberadaan PLTB akan membantu meningkatkan kemandiriannya. Di banding dengan diesel, PLTB mempunyai potensi mengurangi emisi CO2 sebesar 700 gram untuk setiap kWh energi listrik yang dibangkitkan.

4.      Energi Pasang Surut / Gelombang air laut
Wilayah Indonesia yang sangat luas dan berupa kepulauan menyimpan potensi alam yang begitu besar, potensi alam tersebut berupa energi non konvensional yang berbentuk energi gelombang air laut dengan energi angin. Kedua energi ini bisa dimanfaatkan sebagai energi pembangkit listrik dan mengurangi penggunaaan BBM untuk pembangkit listrik. Energi non Kovensional tersebut bias diperoleh di setiap daerah pantai yang kondisi gelombang dan anginnya besar, biasanya terdapat di bagian pantai yang menghadap ke samudera atau laut yang luas, seperti di sepanjang pantai pulau Jawa, Sumatera, Bali, Lombok, dan seterusnya. Berdasarkan data secara teoritis,  total sumberdaya energi laut nasional sangat melimpah,  meliputi energi dari jenis panas laut,  gelombang laut dan arus laut,  yaitu mencapai 727.000 MW. Data tersebut dihasilkan berdasarkan perhitungan dari Asosiasi Energi Laut Indonesia (ASELI) bersama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan (PPPGL).       
Namun Indonesia belum memanfaatankan energi gelombang laut sebagai sumber lis­trik secara optimal. Hal tersebut dikarenakan untuk merealisasikannya perlu di­la­­kukan penelitian lebih mendalam. Te­tapi secara sederhana dapat dilihat bah­wa probabilitas menemukan dan memanfaatkan potensi energi ge­lombang laut dan energi panas laut lebih besar dari energi pasang surut.
Alternatif teknologi yang diperidiksi­kan tepat dikembangkan di pesisir pan­tai selatan Pulau Jawa adalah tek­no­logi Tapered Channel (Tapchan). Prinsip teknologi ini cukup sederhana, gelombang laut yang datang disalurkan memasuki sebuah saluran runcing yang berujung pada sebuah bak penampung yang diletakkan pada sebuah ketinggian tertentu. Air laut yang berada dalam bak penam­pung dikembalikan ke laut melalui saluran yang terhubung dengan turbin generator penghasil energi listrik. Adanya bak penampung memungkinkan aliran air penggerak turbin dapat beroperasi terus menerus dengan kondisi gelombang laut yang berubah-ubah. Teknologi ini tetap memerlukan bantuan mekanisme pasang surut dan pilihan topografi garis pantai yang tepat. Teknologi ini telah dikembangkan sejak l985. (Sumber : http://listrikindonesia.com/pembangkit_listrik_tenaga_gelombang_laut_tanpa_bahan_bakar_fosil__dan_ramah_lingkungan_70.htm)

5.      Energi Biomassa
Secara tradisional, masyarakat Indonesia sudah menggunakan biomassa sebagai sumber energi. Di rumah tangga dan industri di pedesaan, kayu bakar lazim dipakai untuk memasak dan proses pemanasan. Sumber lain seperti limbah pertanian tersedia dalam jumlah yang berlebih, namun tidak dimanfaatkan dengan baik. Pada tahun 2005, 32% konsumsi energi akhir berasal dari biomassa, atau nomor dua tertinggi setelah minyak bumi. Namun biomassa tradisional tidak lagi banyak digunakan orang sehingga pertumbuhannya sangat kecil dan tidak sebanding dengan pertumbuhan penggunaan bahan bakar fosil.
Potensi energi biomassa Indonesia, secara teori diperkirakan mencapai sekitar 49.810 MW. Angka ini diasumsikan dengan dasar kadar energi dari produksi tahunan sekitar 200 juta ton biomassa dari residu pertanian, kehutanan, perkebunan dan limbah padat perkotaan. Pada tahun 2005, kapasitas pembangkit listrik tenaga biomassa di Indonesia hanya sebesar 445 MW atau sekitar 9% dari potensi yang ada.
Sebuah studi yang dilakukan sebuah lembaga riset di Jerman (Zentrum for rationalle Energianwendung und Umwelt, ZREU) pada tahun 2000 mengestimasi potensi biomassa Indonesia sebesar 146,7 juta ton per tahun. Sumber utama dari energi biomassa berasal dari residu padi (potensi energi sebesar 150 GJ/ tahun), kayu rambung/kayu karet (120 GJ/ tahun), residu gula (78 GJ/ tahun), residu kelapa sawit (67 GJ/ tahun dan residu kayu lapis dan irisan kayu/ veneer, residu penebangan, residu kayu ulin, residu kelapa dan sampah pertanian lain (kurang dari 20 GJ/ tahun).
Chayun Boediono dalam bukunya “Pemanfaatan Limbah Biomassa dari Industri Berbasis Kayu” (2002) memperkirakan potensi produksi listrik dari biomassa sekitar 821 MWh per tahun atau kapasitas sebesar 94 GW. Angka-angka ini didapatkan dari perkiraan jumlah sampah sebesar 1.15 milyar ton per tahun dan hutan produksi dan perkebunan seluas sekitar 23 juta hektar.
Sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia, Indonesia mempunyai potensi biomassa dalam jumlah besar yang berasal dari residu dari minyak kelapa sawit dan pabrik minyak kelapa sawit. Pada tahun 2005, produksi minyak kelapa sawit mentah (CPO) Indonesia adalah sebesar 13,8 juta ton. Angka produksi ini berasal dari sekitar 5,4 juta hektar perkebunan kelapa sawit dan 350 pabrik minyak kelapa sawit dengan kapasitas total sekitar 14.600 ton tandan buah segar (TBS/FFB) per jam. Sumatera merupakan daerah dengan perkebunan dan pabrik kelapa sawit terbesar, yaitu kurang lebih 77% dari total area perkebunan kelapa sawit dan sekitar 84% produksi minyak kelapa sawit mentah.
Di Propinsi Riau sendiri, terdapat sekitar 122 pabrik kelapa sawit dengan kapasitas total sebesar 5.210 ton TBS per jam. Secara keseluruhan, di Sumatra tercapat 287 pabrik kelapa sawit dengan kapasitas total sebesar 11.730 ton TBS per jam. Kalimantan mempunyai 51 pabrik kelapa sawit dengan kapasitas total 2.356 ton TBS per jam. Hasil produksi minyak kelapa sawit mentah rata-rata adalah sekitar 20-22% berat TBS dan minyak biji sawit (PKO) sekitar 5%.
Sebuah studi yang dilakukan ADB dan Golder Associate (2006) yang dikutip dalam TNA Sektor Energi (2009) memperkirakan potensi biomassa dari limbah pabrik minyak kelapa sawit di Indonesia setara dengan sekitar 230.530 TJ per tahun dan produksi listrik potensial yang dapat dihasilkan adalah sekitar 4.243.500 MWh per tahun. Asumsi yang digunakan untuk perhitungan ini adalah potensi TBS sebesar 15,18 juta ton/ tahun, 70% nya digunakan untuk pembangkit listrik yang beroperasi 8000 jam per tahun.
Kementrian ESDM memiliki program jangka pendek dan panjang untuk meningkatkan penggunaan biomassa sebagai sumber energi. Program jangka pendek meliputi promosi untuk investasi, insentif fiskal dan pajak, kebijakan penetapan harga energi (energi pricing policy), penyebarluasan informasi dan penelitian dan pengembangan.
Kementrian ESDM sedang merencanakan prosedur khusus untuk mendapatkan kredit dari institusi keuangan untuk kegiatan pemanfaatan energi dari biomassa. Skema yang diusulkan antara lain skema pembiayaan mikro (micro-financing) dan kemitraan publik-swasta (public-private partnership). Sementara itu, skema untuk insentif fiskal yang diusulkan untuk dikaji lebih lanjut adalah royalti energi dan kredit bebas bunga/ bunga rendah. Insentif pajak yang dapat diberikan dapat berupa pembebasan atau pengurangan pajak pertambahan nilai dan pajak barang mewah.
Kendala paling besar yang dihadapi energi terbarukan di Indonesia adalah subsidi bahan bakar fosil. Kebijakan untuk menghilangkan subsidi ini menjadi hal yang tidak bisa ditawar jika Indonesia serius dalam mengembangkan energi terbarukan. Pada saat yang sama, pemerintah diharapkan dapat memberi harga yang tinggi untuk listrik yang dihasilkan dari pembangkit berbasis energi terbarukan.
Sampai saat ini, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) telah mengembangkan beberapa proyek pilot gasifikasi biomassa. Masih diperlukan usaha dan sumber daya yang lebih besar untuk memproduksi gasifier biomassa yang ramah pengguna dan kompetitif dengan bahan bakar fosil.
Ada beberapa proyek pembangkit listrik berbasis biomassa yang sudah dan sedang dikembangkan di Indonesia. Termasuk diantaranya adalah Proyek BKR Biomass 4 MWe Condensing Steam Turbine di Riau, Proyek Gasifikasi Biomass di Industri Jamur di Jawa Tengah, Pembangkit Listrik Biomassa Mandau di Riau, Proyek Biomassa menjadi Listrik PTIP (7MW) di Riau, Proyek Biomassa menjadi Listrik PTMM 24 MWe di Sumatra Utara, Pembangkit Listrik Biomassa 4 MW dari Kepingan Kayu dan Serbuk Gergaji di Jawa Tengah, Kogenerasi Biomassa Nagamas, Kogenerasi Biomassa Amurang di Sulawesi Utara,  MNA Biomass 9.7 MWe Condensing Steam Turbine di Sumatra Utara dan MSS Biomass 9.7 MWe Condensing Steam Turbine di Riau.

6.      Energi Mikro Hidro
Belakangan semakin marak digunakannya mikrohidro, pembangkit listrik tenaga air skala kecil (dibawah 100 kW), sebagai sumber pasokan listrik di desa-desa kecil dan terpencil. PLTA mikrohidro semakin dipilih mengingat banyaknya sungai kecil yang ada di Indonesia. Potensi mikrohidro di Indonesia ada 458,75 MW dan baru terpasang 84 MW. Selain itu teknologinya yang mudah pun menjadi suatu nilai tambah bagi penduduk desa dalam memanfaatkan aliran sungai sebagai sumber energi primer untuk pembangkit listrik.
Berdasarkan data yang diambil dari Okezone.com menyatakan bahwa PT Indonesia Power akan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hydro (PLTMH) dengan nilai investasi sekira USD600 ribu-USD800 ribu per satu megawatt (mw). "Pembangkit baru PLTMH (nantinya dibangun) di Jawa Tengah. Lokasi pastinya di sekitar sungai di Banyumas, Jawa Tengah, agak ke utara sedikit," ungkap Corporate Secretary Indonesia Power Noesita Indriani, saat ditemui di Bali, Jumat (25/11/2011). Adapun dana yang digunakan untuk membangun PLTMH tersebut, berasal dari belanja modal pada untuk tahun depan sebesar Rp 914 miliar. Dana belanja modal tersebut berasal dari kas internal perusahaan. Belanja modal tersebut, selain digunakan untuk pembangunan PLTMH yang saat ini masih dalam kajian, juga digunakan untuk meningkatkan keandalan pembangkit eksisting. Selain itu, dana tersebut akan digunakan untuk efisiensi modifikasi peralatan, dan juga untuk membangun pembangkit baru. 
Sumber lain yang diambil dari Tribun.com memberitakan bahwa di Kabupaten Aceh Utara kini memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro. Hal itu ditandai dengan ujicoba PLTMH di Desa Alue Dua, Kecamatan Nisam Antara oleh Dinas Sumber Daya Air, dan Energi Sumber Daya Mineral (SDA dan ESDM) Aceh Utara.








BAB V
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Keberadaan sumber energi minyak bumi semakin lama semakin menipis keberadaannya dialam, padahal sumber tenaga pembangkit listrik yang digunakan di Indonesia saat ini adalah energi dari minyak bumi, hal itupun menyebabkan dari hari ke hari biaya untuk mendapatkan energi listrik di Indonesia bertambah. Disamping hal tersebut di Indonesia sebenarnya memiliki banyak potensi sumber daya yang dapat dimanfaatkan sebagai energi pembangkit listrik yang terbarukan atau Non Konvensional. Energi tersebut antara lain adalah energi surya/Matahari, angin, gelombang, air, biomassa dan semua sumber tersebut jumlahnya tidak terbatas di Indonesia. Sumber energi tersebut saat ini sudah diterapkan dibeberapa daerah, namun pemanfaatannya belum optimal. Dan kedepannya diharapkan potensi-potensi dari sumber energi tersebut bisa dimanfaatkan secara optimal, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

B.     Saran
1.      Untuk jangka panjang, pemerintah diharapkan dapat menerapkan penggunaan wajib bahan bakar non-fosil dan teknologi bersih.
2.      Pemerintah perlu mempertimbangkan didirikannya lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk mendanai proyek-proyek energi terbarukan.
3.      Kita harus terus berusaha melakukan penghematan energi dan berusaha menciptakan inovasi-inovasi yang berguna untuk kesejahteraan bangsa Indonesia











DAFTAR PUSATAKA

Abdullah aly dan Eny Rahma. 1991. Ilmu Alamiah Dasar. Jakarta : PT. Bumi Aksara

Maskoeri Jasin. 2010. Ilmu alamiah dasar. Jakarta : Rajawali pers

Soetoto. 2008. Geologi Tata Lingkungan. Program Pasca Sarjana : Universitas Gajah Mada

Abdulah Kadir. 1982. Energi. Jakarta : UI-Press

Kamarudin Abdullah. 2002. Biomass Energi Potential and Utilization in Indonesia. Bogor : IPB (dalam www.Iklimcarbon.com, diakses pada tanggal 5 maret 2012. Pukul 06.00 WIB)

Chayun Budiono. 2002. Pemanfaatan Limbah Biomassa dari Industri Berbasis Kayu.
(dalam www.Iklimcarbon.com, diakses pada tanggal 5 maret 2012. Pukul 06.00 WIB)

BPPT dan KLH. 2009. Technology Needs Assessment in Energi Sector. Jakarta
(dalam www.Iklimcarbon.com, diakses pada tanggal 5 maret 2012. Pukul 06.00 WIB)

Pekik A. Dahono, Sumber Energi Alternatif (SEA),Laboratorium Penelitian Konversi Energi Elektrik, Teknik Elektro ITB ( dalam http://konversi.wordpress.com diakses pada tanggal 6 Maret 2012 pukul 19.00 WIB)

Abdul Kadir, IPM, Beberapa Kecenderungan Perkembangan Teknologi Pembangkit Listrik, Ketua Sekolah Tinggi Teknik Yayasan PLN, Jakarta. ( dalam http://konversi.wordpress.com diakses pada tanggal 6 Maret 2012 pukul 19.00 WIB)

Wilson Walery Wenas, Teknologi Sel Surya : Perkembangan Dewasa Ini dan yang Akan Datan,Laboratorium Semikonduktor, Fisika-ITB. ( dalam http://konversi.wordpress.com diakses pada tanggal 6 Maret 2012 pukul 19.00 WIB)

Teguh Priyambodo, Pembangkit Listrik Tenaga Surya: Memecah Kebuntuan Kebutuhan Energi Nasional dan Dampak Pencemaran Lingkungan. ( dalam http://konversi.wordpress.com diakses pada tanggal 6 Maret 2012 pukul 19.00 WIB)

Joko Santoso dan Yudiartono. 2005. Analisis Prakiraan Kebutuhan Energi Nasional Jangka Panjang Di Indonesia. Dalam Indyah Nurdyastuti dan M. Sidik Boedoyo (ed). 2005. Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil,  PLTN, Dan Pembangkit Energi Terbarukan. Jakarta : Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi.

Irawan Raharjo dan Ira Fitriana. 2005. Analisis Potensi Pembangkit Listrik Tenaga Surya Di Indonesia. Dalam Indyah Nurdyastuti dan M. Sidik Boedoyo (ed). 2005. Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil,  PLTN, Dan Pembangkit Energi Terbarukan. Jakarta : Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi.

Hari Suharyono. 2005. Analisis Dampak Kenaikan Harga Minyak Mentah dan Batu Bara Terhadap Sistem Pembangkit Di Indonesia. Dalam Indyah Nurdyastuti dan M. Sidik Boedoyo (ed). 2005. Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil,  PLTN, Dan Pembangkit Energi Terbarukan. Jakarta : Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi.



 http://aceh.tribunnews.com/2011/12/29/aceh-utara-miliki-listrik-pltmh(diunduh pada tanggal 5 Maret 2012, pukul 07.50

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/09/19/16025971/Kebutuhan.Listrik.Tumbuh.5.500.MW.Per.Tahun. Evy Rachmawati dan Robert Adhi Ksp pada Senin, 19 September 2011 | 16:02 WIB (diakses pada tanggal 6 Maret 2012, pukul 13.00 WIB)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar